BANDARA INTERNASIONAL JUANDA
ANGKASA PURA I
2. BANDAR UDARA INTERNASIONAL JUANDA (SURABAYA)
a. sejarah
Bandar Udara Internasional Juanda (BUIJ) (bahasa
Inggris: Juanda International Airport) (IATA: SUB, ICAO: WARR), adalah bandar
udara internasional yang terletak di Kecamatan Sedati,
Kabupaten Sidoarjo, 20 km sebelah selatan Surabaya.
Bandara Internasional Juanda dioperasikan oleh PT
Angkasa Pura I. Namanya diambil dari Ir. Djuanda Kartawidjaja, Wakil Perdana Menteri (Waperdam)
terakhir Indonesia yang telah menyarankan pembangunan bandara ini. Bandara
Internasional Juanda adalah bandara tersibuk kedua di Indonesia setelah Bandara Internasional
Soekarno-Hatta berdasarkan pergerakan pesawat dan penumpang. Bandara ini
melayani rute penerbangan dari dan tujuan Surabaya
dan wilayah Gerbangkertosusila.
Bandara ini memiliki panjang landasan 3000 meter
dengan luas terminal sebesar 51.500 m², atau sekitar dua kali lipat dibanding
terminal lama yang hanya 28.088 m². Bandara baru ini juga dilengkapi dengan
fasilitas lahan parkir seluas 28.900 m² yang mampu menampung lebih dari 3.000
kendaraan. Bandara ini diperkirakan mampu menampung 13 juta hingga 16 juta
penumpang per tahun dan 120.000 ton kargo/tahun.
Rencana untuk membangun satu pangkalan udara baru yang
bertaraf internasional sebenarnya sudah digagas sejak berdirinya Biro
Penerbangan Angkatan Laut RI pada tahun 1956. Namun demikian, pada akhirnya agenda politik pula yang menjadi faktor
penentu realisasi program tersebut. Salah satu agenda politik itu adalah
perjuangan pembebasan Irian Barat. Berangkat dari tujuan membantu operasi
TNI dalam pembebasan
Irian Barat,
pemerintah menyetujui pembangunan pangkalan udara baru di sekitar Surabaya.
Saat itu terdapat beberapa pilihan lokasi, antara lain: Gresik, Bangil (Pasuruan) dan Sedati (Sidoarjo). Setelah dilakukan survei, akhirnya
pilihan jatuh pada Kecamatan Sedati, Sidoarjo. Tempat ini dipilih karena selain
dekat dengan Surabaya, areal tersebut memiliki tanah yang sangat luas dan
datar, sehingga sangat memungkinkan untuk dibangun pangkalan udara yang besar
dan dapat diperluas lagi di kemudian hari.
Proyek pembangunan yang berikutnya disebut sebagai “Proyek Waru” tersebut merupakan proyek
pembangunan lapangan terbang pertama sejak Indonesia merdeka. Proyek ini
bertujuan menggantikan pangkalan udara yang tersedia di Surabaya adalah
landasan udara peninggalan Belanda di Morokrembangan dekat Pelabuhan
Tanjung Perak, yang
sudah berada di tengah permukiman yang padat dan sulit dikembangkan.
Pelaksanaan proyek Waru, melibatkan tiga pihak utama, yaitu: Tim Pengawas
Proyek Waru (TPPW) sebagai wakil
pemerintah Indonesia, Compagnie d’Ingenieurs et Techniciens (CITE) sebagai konsultan,
dan Societe de Construction des Batinolles (Batignolles) sebagai kontraktor. Kedua
perusahaan asing terakhir, merupakan perusahaan asal Perancis. Dalam kontrak yang melibatkan tiga
pihak tersebut, ditentukan bahwa proyek harus selesai dalam waktu empat tahun (1960-1964).
Untuk membangun pangkalan udara dengan landasan pacu yang
besar (panjang 3000 meter dan lebar 45 meter) ini membutuhkan pembebasan lahan
yang luas keseluruhannya mencapai sekitar 2400 hektar. Lahan tersebut tidak hanya berbentuk
tanah, tetapi juga sawah dan rawa. Selain itu juga dibutuhkan pasir dan batu
dalam jumlah yang besar. Pasirnya digali dari Kali Porong dan batunya diambil dari salah satu
sisi Bukit
Pandaan yang,
kemudian diangkut dengan ratusan truk proyek menuju Waru. Jumlah pasir dan batu
yang diperlukan sekitar 1.1200.000 meter kubik atau 1.800.000 ton. Konon Jumlah
pasir sebanyak itu bisa digunakan untuk memperbaiki jalan Jakarta-Surabaya sepanjang 793 Km dengan lebar 5 m dan
kedalaman 30 cm. Sedangkan jarak tempuh seluruh truk proyek, bila
digabungkan adalah sekitar 25 juta Km atau 600 kali keliling bumi.
Dengan kegiatan proyek yang berlangsung siang-malam dan
dukungan kerjasama dari berbagai pihak (Pemerintah Kota Surabaya, Komando Resor
Militer (Korem) Surabaya, Otoritas Pelabuhan dan masyarakat pada umumnya),
akhirnya proyek tersebut dapat diselesaikan lebih cepat dari waktu yang ditentukan.
Pada tanggal 22
September 1963, berarti tujuh bulan lebih cepat, landasan tersebut sudah siap untuk
digunakan. Sehari kemudian satu sortie penerbangan, yang terdiri empat pesawat
Fairey Gannet ALRI, di bawah pimpinan Mayor AL (Pnb) Kunto Wibisono melakukan uji coba pendaratan untuk pertama
kalinya.
Di tengah proses pembangunan bandara ini, sempat terjadi
krisis masalah keuangan. Ketika itu bahkan pihak Batignolles sempat
mengancam untuk hengkang. Penanganan masalah ini pun sampai ke Presiden Sukarno. Dan Presiden Sukarno kemudian
memberikan mandat kepada Waperdam I Ir. Djuanda untuk mengatasi masalah ini
hingga proyek ini selesai. Pada tanggal 15 Oktober 1963, Ir. Djuanda mendarat di landasan ini dengan menumpangi Convair 990 untuk melakukan koordinasi
pelaksanaan proyek pembangunan. Tidak lama setelah itu, pada tanggal 7 November 1963 Ir. Djuanda wafat. Karena dianggap sangat berjasa atas selesainya proyek
tersebut dan untuk mengenang jasa-jasa dia, maka pangkalan udara baru tersebut
diberi nama Pangkalan Udara Angkatan Laut (LANUDAL) Djuanda dan secara resmi dibuka oleh Presiden Sukarno pada tanggal
12 Agustus 1964. Selanjutnya pangkalan udara ini digunakan sebagai pangkalan induk (home
base) skuadron pesawat pembom Ilyushin IL-28 dan Fairey Gannet milik Dinas Penerbangan ALRI.
Dalam perkembangannya muncul keinginan maskapai Garuda
Indonesia Airways
(GIA) untuk mengalihkan operasi pesawatnya (Convair 240, Convair 340 dan
Convair 440) dari lapangan terbang Morokrembangan yang kurang memadai ke
Djuanda. Namun, karena dalam pembangunannya tidak direncanakan untuk
penerbangan sipil, Lanudal Djuanda tidak memiliki fasilitas untuk menampung
penerbangan sipil sehingga kemudian otoritas pangkalan saat itu berinisiatif
merenovasi gudang bekas Batignolles untuk dijadikan terminal sementara.
Dan jadilah Lanudal Djuanda melayani penerbangan sipil yang pengelolaannya
sejak 7 Desember 1981 dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Departemen Perhubungan RI. Pada 1 Januari 1985, pengelolaan bandara komersial ini dialihkan kepada Perum Angkasa Pura I berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 30 tahun 1984. Seiring waktu berjalan, frekuensi penerbangan sipil disana
pun bertambah. Hingga akhirnya dibangun terminal khusus untuk melayani
penerbangan sipil dan melayani juga penerbangan internasional. Pada 24 Desember 1990, Bandara Juanda ditetapkan sebagai bandara internasional dengan
peresmian terminal penerbangan internasional.
Statistik (2017)
|
||||
|
b. denah bandara
DOMESTIK
INTERNASIONAL
c. Parkir bandara
Tipe kendaraan
|
1 jam pertama
|
Setiap jam berikutnya sd. 5 jam
|
6 jam sd. 12 jam
|
inap
|
Denda (karcis hilang)
|
Roda
2
|
Rp.
5,000
|
-
|
-
|
Rp.
35,000
|
Rp.
75,000
|
Roda
4
|
Rp.
10.000
|
Rp.
3,000
|
Rp.
25,000
|
Rp.
100,000
|
Rp.
120,000
|
Roda
6
|
Rp.
12.000
|
Rp.
4,000
|
Rp.
50,000
|
Rp.
120,000
|
Rp.
150,000
|
d. Transportasi publik
NO
|
TUJUAN
|
TARIF
|
1
|
Bandara juanda-terminal purabaya
|
Rp.
25,000
|
2
|
Bandara juanda-terminal tanjung perak
|
Rp.
25,000
|
3
|
Bandara juanda-terminal bunder gresik
|
Rp.
40,000
|
e. Transportasi khusus
f. Transportasi darat
Jalan Raya dan Toll
Bandara Juanda terkoneksi dengan
Jalan Tol Waru-Juanda menuju ke Surabaya
sepanjang 15 km, yang menghubungkan Juanda dengan sistem jalam toll
Surabaya-Gresik, Surabaya-Malang dan Surabaya-Mojokerto.
Bandara ini juga dihubungkan
dengan Jalan Raya Waru untuk ke Surabaya dan Jalan Letjen S. Parman ke
Sidoarjo.
Bus
Bus DAMRI disediakan oleh
pemerintah setempat untuk mengantarkan penumpang dengan Terminal
Purabaya ke Surabaya yang dimulai sejak bulan November 2006.
Taksi
Taksi Primkopal Juanda
memberlakukan tarif tetap ke berbagai macam tujuan di kota Surabaya dan daerah
sekitarnya termasuk Malang, Blitar, Jember, Tulungagung. Berbeda dengan bandara
lainnya di Indonesia. Tiket taksi dapat dibeli di loket yang terletak di pintu
keluar bandara.
Kereta Monorel
Kereta Monorel akan dibangun dan
diresmikan bersamaan dengan terminal 3 dan 4. Panjang relnya sekitar 20 km.
Nantinya, akan memiliki 29 halte yang jarak tiap haltenya antara 1,5 km hingga
2 km. Monorel ini juga memiliki 2 gerbong yang berkapasitas 200 orang.
Sewa Mobil
Terdapat penyewaan mobil beserta
supir dengan harga relatif terjangkau, dan merupakan transportasi alternatif
bila ingin berkeliling Surabaya maupun ke kota terdekat seperti Malang.
Kios-Kios penyewaan yang telah disertifikasi terdapat di bagian pengambilan
bagasi. Berhati-hati bila ditawarkan penyewaan harga miring oleh orang-orang
diluar terminal, karena sering terjadi kasus diturunkan ditengah jalan maupun
penculikan.
Selain itu terdapat beberapa
agen travel dari berbagai penjuru kota jawa timur diantaranya dari kota
Surabaya, Malang, Jember, Madiun dan kota lainnya
g. Terminal bandara
Terminal 1
Terminal 1 Bandara Juanda dibuka pada tahun 2006. Terminal ini
terletak di sebelah utara landasan pacu. Terminal ini terbagi menjadi terminal
1A dan 1B. Terminal 1A untuk keberangkatan Citilink,
Batik Air,
Airfast Indonesia, dan untuk keberangkatan Umroh. Terminal 1B untuk
keberangkatan Lion Air,
Wings Air,
Sriwijaya Air,
NAM Air,
Kalstar,
Trigana Air, Susi Air,
dan Travira Air.
Beberapa tahun kemudian, semakin banyak rute penerbangan dari dan ke Surabaya.
Baik domestik, maupun internasional. Hal ini membuat terminal ini menjadi
overload. Kapasitas sebenarnya hanya 6 juta penumpang/tahun. Namun pada tahun 2013, jumlah penumpang
yang berangkat dan datang menjadi 17 juta penumpang/tahun. Akhirnya pemerintah
memutuskan membangun terminal 2 yang berada di terminal lama bandara juanda.
Terminal lama dibongkar dan dibangun terminal 2.
Terminal 2
Terminal 2
mulai dibangun sejak tahun 2011 yang berada di terminal lama bandara Juanda. Terminal
lama dibongkar dan dibangun terminal 2. Terminal ini dibangun untuk mengurangi kepadatan
penumpang di terminal 1 yang sudah overload. Terminal ini dipakai untuk
keberangkatan Domestik Garuda Indonesia, dan Indonesia
AirAsia, dan keberangkatan Internasional Garuda
Indonesia, Indonesia AirAsia, Indonesia AirAsia X, Lion Air,
AirAsia,
Jetstar,
Singapore Airlines, Silk Air,
Cathay
Pacific, China Airlines, dan lain-lain. Setelah tertunda
beberapa bulan, terminal ini dijadwalkan beroperasi tanggal 14 Februari
2014. Namun karena
abu letusan Gunung Kelud, terminal ini ditunda operasinya hingga beberapa hari.
Terminal ini akan menampung 6 juta penumpang/tahun.
Terminal 3
Terminal 3 mulai
dibangun sejak awal tahun 2015 [1].
Terminal ini terletak di sebelah timur Terminal 1 Juanda. Terminal ini dibangun
demi mengurangi kepadatan penumpang di terminal 1 dan 2 yang sudah overload.
Rencananya, terminal ini akan beroperasi pada tahun 2018. Terminal ini
memiliki landasan pacu tersendiri, berbeda dengan Terminal 1 dan 2 yang hanya
memiliki sebuah landasan pacu. Terminal ini berkonsep Airport City dan
dilengkapi pusat perbelanjaan, kereta monorel, dan akses bawah tanah ke
terminal 1 dan 2 serta Jalan Tol Waru-Juanda
h. penghubung bandara dengan pesawat
Garbarata (kadang juga
disebut tangga belalai) adalah jembatan yang
berdinding dan beratap yang menghubungkan ruang tunggu penumpang ke pintu
pesawat terbang untuk memudahkan penumpang masuk ke dalam dan keluar dari
pesawat. Tergantung pada desain bangunan, ketinggian, memicu posisi, dan
persyaratan operasional, mungkin dibuat menetap atau bergerak, berayun radial
atau memperpanjang panjang. Garbarata diciptakan oleh Frank Der Yuen.
Sebelum pengenalan garbarata, penumpang biasanya naik pesawat
dengan berjalan di sepanjang jalan tanah-tingkat dan mendaki tangga bergerak,
atau naik airstairs pada pesawat sehingga dilengkapi. Garbarata pertama kali
digunakan pada tanggal 26 Juli 1959 di Bandar Udara Internasional San Francisco.
Namun demikian, meskipun keberadaan garbarata menjadi penanda
modernnya sebuah bandara, ada alasan tertentu mengapa garbarata tidak dipasang,
antara lain karena ketersediaan lahan parkir, padatnya jadwal penerbangan dan
penggunaan garbarata. Ada satu waktu di mana ketika penumpang menginginkan
garbarata, terkadang menyebabkan terlambatnya penerbangan karena garbarat perlu
persiapan memasangkan ke mulut pintu pesawat
Pembangunan
fisik Terminal Dua (T2) Domestik Bandara Internasional Juanda telah mencapai
100 persen sejak 4 November 2013. dua
unit Garbarata (jalan penghubung antara pesawat dan penumpang di ruang tunggu)
juga sudah terpasang di area apron.
Total
Garbarata yang difungsikan di T2 ada 12 unit, di terminal domestik enam unit
yang terdiri dari empat Garbarata single dan satu twin. Sedangkan di terminal
internasional secara keseluruhan ada enam unit yang terdiri dari tiga pasang
twin Garbarata.
Selain
pemasangan dua unit Garbarata yang sudah tuntas, pengerjaan di air side juga
sedang memasang float light (tiang lampu) sebanyak enam unit, tiga unit sudah
terpasang di service road dan apron.
Menarik sekali artikelnya, terima kasih
BalasHapusKuota Internet